BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Investasi tentu bukan
merupakan kata yang asing lagi ditelinga kita, khususnya mereka yang mendalami
ilmu ekonomi. Di zaman sekarang yang ktia ketahui, dunia perbankan dikuasai
oleh bank-bank konvensional dimana masih menggunkan system ribawi didalamnya.
Sebenarnya islam sendiri telah mengenalkan system Investasi sudah berabad
lamanya, bahkan konsep perbankan pun sudah ada dalam kitab-kitab turats/klasik.
Kata investasi atau Istitsmaar masdar dari kata “istatsmaro” yang berarti mencari hasil. Atsmaro rojulun bisa diartikan dengan banyaknya
harta seseorang itu karena hasilnya yang berlimpah. Maka
Investasi/Istitsmaar dari harta adalah buahnya atau hasil dari perkembangan
harta itu sendiri.
Secara Istilah Al-istitsmar/Investasi
bermakna At-Tanmiyah (Perkembangan pada harta yang ditanam).
Salah satu keistimewaan
Investasi dalam Islam adalah dengan adanya visi yang bersifat individual dan
sosial. Setidaknya kita bisa melihat 5 visi dalam Investasi islam : Muhafadzoh alal maal wa
tanmiyatithi (Menjaga harta
dan megembangkannya), tadawuluts tsarwah (mendistribusikan kekayaan),
at-tanmiyah Al-Iqtisodiyah (pengembangan ekonomi), At-Tanmiyah Al-Ijtimaiyyah (pengembangan
masyarakat), Al-Adl (keadilan). Aktivitas investasi tidak
boleh keluar dari kelima garis
di atas, jika ada yang bertentangan
dengan visi di atas
maka investasi tersebut tidaklah sah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Investasi
investasi
berasal dari bahasa Inggris investment yang berarti “menanam”. Investasi
menurut Jack Francis adalah penanaman modal yang diharapkan dapat
menghasilkan tambahan dana pada masa yang akan datang.[1]
Sedangkan Frank reilly investasi adalah komitmen satu dollar dalam satu periode
tertentu, akan mampu memenuhi kebutuhan investor di masa yang akan datang
dengan:
(1) waktu dana tersebut akan
digunakan,
(2) tingkat inflasi yang terjadi,
(3) ketidakpastian kondisi ekonomi
di masa yang akan datang.[2]
Investasi merupakan salah satu
penggunaan kekayaan yang dimiliki seseorang. Dalam tindakan investasi,
pertama-tama harus dirumuskan dahulu tujuan melakukan investasi. Tujuan utama
melakukan investasi bukan untuk menambah harta kekayaan yang dimiliki, tetapi
untuk mendekat kepada Allah.
Islam mempunyai pandangan berbeda
mengenai investasi, khususnya dalam memanfaatkan kelebihan kekayaan.
Selain itu, konsep kekayaan dalam Islam juga tidak sama dengan pandangan
kapitalis. Sumber perbedaan cara pandangan Islam dengan kapitalis adalah posisi
Tuhan. Dalam pandangan kapitalis, tidak pernah diadakan, semuanya terjadi
dengan kekuatan usaha manusia, rasionalitas individu-individu menjadi penggerak
semua aktivitas.
B.
Skema
Investasi Dalam Islam
Skema Investasi
Syariah terdiri dari:
1. Skema Bagi Hasil : Musyakarah (Join
Venture) Dan Mudharabah (Full Financing)
a. Musyakarah
Musyarakah adalah akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (amal/expertise)
dengan kesepakatan bahwa keutungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan. [3]
Musyarakah
adalah akad kerja sama dianatra pemilik modal yang mencampurkan modal mereka
untuk tujuan mencari keuntungan.
Dalam musyarakh mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk
meambiayai suatu usaha tertentu, baik
yang sudah berjalan maupun baru.
Selanjutnya mitra dapat mengemhabalikan modal tersebut berikut bagi
hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus pada bank. Pembiayaan musyarakh dapat diberikan dalam
bentuk kas, setara kas, atau aktiva non kas, termasuk aktiva tidak berwujud,
seperti lisensi dan hak paten.
Karena setiap mitra tidak
dapat menjamin modal mitra lainya, maka setiap mitra dapat meminta mitra
lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja.
Beberapa hal yang menunjukan adanya kesalahan yang disengaja ialah: pelanggaran
terhadap akad antara lain penyalahgunaan dana pembiayaan, manipulasi biaya dan
pendapatan operasianal, pelaksanaan yang tidak sesuai dengan perinsif
syariah. Jika tidak adanya kesepakatan
antara pihak yang bersangkutan kesalahan yang disengaja harus dibuktikan
berdasarkan badan arbitrase atau pengadilan.
Laba
musyarakah dibagi daintara para mitra, baik secara proprsional sesuai besrnya
modal yang disetorkan (baik berupa kasa maupun aktiva lainnya) atau sesuai
nisbah yang disepakti oleh semua mitra.
Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional sesuai dengan besarnya
modal yang disetorkan.
Adapun skemanya adalah:
b.
Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya
memukul atau berjalan. Perngertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya
adalah proses seseorang menggerakkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Mudharabah merupakan bahasa penduduk Iraq, sedangkan menurut bahasa penduduk
Hijaz disebut dengan istilah qirad.[4]
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara
dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul
maal) yang menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lannya
sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan
usaha yang di dapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk persentase.
Jika
usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh
shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibaty kelalaian mudharib. Sedangkan
mudharib menanggung kerugian atas upaya, jerih payah dan waktu yang telah
dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian diakibatkan karena
kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Adapun skemanya adalah:
2. Jual Beli (Murabahah)
Al-Murabahah
berasal dari kata bahasa Arab Al-ribh (keuntungan), ia dibentuk dengan wazan (pola pembentukan kata) mufa’alat yang mengandung
arti saling. Oleh karenanya, secara terminologi, diartikan dan didefinisikan
dengan redaksi yang variatif. Ahmad al-Syaisy al Qaffal mengatakan, al-murabahah
ialah tambahan terhadap modal.
Bagi al-Sayid Sabiq, murabahah
penjualan barang seharga pembelian disertai
dengan keuntungan yang dbierikan oleh pembeli artinya ada tambahan harga dari
harga nilai beli. Adapun
arti murabahah
secara
umum adalah akad jual beli atas barang tertentu,dimana penjual menyebutkan
harga pembelian barang kepada pembeli kemudian menjual kepada pihak pembeli
dengan mensyaratkan keuntungan yang diharapkan sesuai jumlah tertentu.
Murabahah ialah akad jual beli barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli.[5]
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan), atau murabahah juga
berarti Al-Irbaah karena salah satu dari dua orang yang
bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya, sedangkan secara
istilah, Bai’ul murabahah adalah:
Jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan. Definisi ini
adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang
digunakan berbeda-beda.
Menurut Para ahli hukum Islam mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai berikut:
a.
‘Abd
ar-Rahman al-Jaziri mendefinisikan bai’ al-murabahah sebagai menjual barang dengan harga pokok beserta keuntungan
dengan syarat-syarat tertentu;
b.
Menurut
Wahbah az-Zuhaili adalah jual-beli dengan harga pertama (pokok) beserta
tambahan keuntungan;
c.
Ibn
Rusyd filosof dan ahli hukum Maliki,
mendefinisikannya sebagai jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli
harga pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada
pembeli;
d.
Isma’il menjelaskan bahwa dalam akad Murabahah penjual menjual barangnya
dengan meminta kelebihan atas harga beli dengan dengan harga jual, perbedaan antara harga jual dengan
harga beli barang disebut margin
keuntungan;[6]
e.
Ibn
Qudamah ahli hukum Hambali, mengatakan bahwa arti jual-beli murabahah adalah
jual-beli dengan harga pokok ditambah margin keuntungan.
Dengan kata lain, jual-beli murabahah adalah
suatu bentuk jual-beli di mana penjual memberi tahu kepada pembeli tentang
harga pokok (modal) barang dan pembeli membelinya berdasarkan harga pokok
tersebut kemudian memberikan margin keuntungan kepada penjual sesuai dengan
kesepakatan. Tentang “keuntungan yang disepakati”, penjual harus memberi tahu
pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya tersebut
Adapun skema
jual beli (murabahah) adalah sebagai berikut:
3. Skema Sewa (Ijarah)
Al-Ijarah berasal
dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti).
Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).
Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa
menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan
ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu). Seperti halnya barang itu
harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang
menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyewakan).
Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir (orang yang
menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya
disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan
sebagai imbalan manfaat disebut Ajran atau Ujrah (upah).
Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang
menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil
manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian).
Adapun skema ijarah adalah sebagai berikut:
4. Skema Sewa Plus Jual Beli
Aneka investasi Islami yang dapat
dipilih sebagai berikut : (1) investasi ke dalam produk keuangan seperti produk
bank Islam, tabungan / deposito, asuransi, pasar modal, reksadana, saham, dan
obligasi; (2) investasi ke dalam property dengan skema jual beli maupun hasil
sewa; (3) investasi ke dalam logam mulia / emas dan batu mulia melalui skema
jual beli; dan (4) investasi ke dalam usaha yang dijalankan dengan prinsip
syariah baik yang dikelola sendiri ataupun menitipkan modal pada usaha pihak
lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Skema Investasi Syariah terdiri dari:
1.
Skema bagi hasil : musyakarah (join venture) dan mudharabah (full
financing);
2.
Skema jual beli (murabahah);
3.
Skema sewa (ijarah)
4.
Skema sewa plus jual beli. Musyarakah adalah akad
kerja sama dianatra pemilik modal yang mencampurkan modal mereka untuk tujuan
mencari keuntungan. Dalam
musyarakh mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk meambiayai suatu
usaha tertentu, baik yang sudah berjalan
maupun baru, sedangkan mudharabah adalah skema investasi syariah melalui pengelolaan
usaha dengan permodalan penuh dari investor kepada pengelola usaha. Investor
mempercayakan sejumlah modal usaha kepada pengelola usaha dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan.
B.
Saran
Demikian makalah yang penulis buat,
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin
di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami. Apabila ada terdapat kesalahan
mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena penulis adalah hamba Allah yang
tak luput dari salah khilaf, alpa dan lupa.
Makalah
: Investasi dalam islam
SKEMA INVESTASI DALAM ISLAM
DI
S
U
S
U
N
Oleh:
KELOMPOK: III
Nama : Muhammad Nabawi
Nim : 121206301
Jurusan/ Prodi :
Syari’ah/ EKIS
Semester/Unit :
VI (Enam)/ II(Dua)
Dosen
Pembimbing: Siti Najma, S.Ag. MM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MALIKUSSALEH-LHOKSEUMAWE
TAHUN 2015
DAFTAR PUSTAKA
Achsien, Inggi H, Investasi Syri’ah di Pasar
Modal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Baihaqi, Abdul Madjid, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Pedesaan Melalui BMT dan Koperasi Syari’ah.BMT press. Bandung, 2002.
Isma’il, Perbankan Syari’ah, Jakarta: Prenada
Media Group, tt
Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
Adiwarman A. Karim, Bank Islam
Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007
Antonio, Muhamad Syafi’i, Bank Syariah Suatu Pengenalan
Umum, Cet, 1, Jakarta: Tazkia
Institute, 2000
[1]
Achsien, Inggi H, 2003, Investasi Syri’ah
di Pasar Modal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[2]
Baihaqi, Abdul Madjid, 2002, Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat di Pedesaan Melalui BMT dan Koperasi Syari’ah.BMT press.
BAndung
[3] Antonio,
Muhamad Syafi’i, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Cet, 1, (Jakarta: Tazkia Institute,
2000), hal. 9
[4]Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hal. 224 – 227
[5] Adiwarman A. Karim, Bank Islam
Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal.
113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar